Selasa, 13 April 2010

membaca gejala dari jelaga

Matahari terlalu pagi mengkhianati
Pena terlalu cepat terbakar
Kemungkinan terbesar sekarang,
memperbesar kemungkinan pada
ruang ketidakmungkinan
Sehingga setiap orang yang kami
temui tak menemukan lagi satupun
sudut kemungkinan untuk
kemungkinan untuk berkata tidak
mungkin
Tanpa darah mereka mengering
Sebelum mata pena berkarat dan
menolak kembali terisi
Sebelum semua paru disesaki
tragedi
dan pengulangan menemukan
maknanya sendiri dalam pasar dan
semerbak deodoran
Atau mungkin dalam limbah dan
kotoran
Atau mungkin dalam seragam
sederetan nisan
Kita pernah bernazar
Untuk menantang awan
Menantang langit dengan kalam-
kalam terhunus
Hingga hari-hari penghabisan
Tanpa pretense apapun untuk
mengharapkan surga dan neraka
Di atas semua …
Kita berangkat dengan rima dan kopi
secawan
Berkawan dengan bentangan kalam
yang menantang awan
Kita menggalang pijakan dari hulu
waktu yang membidani zaman
Dimana microphone digenggam
dengan hasrat menggantang
ancaman
Mengkafani kawanan serupa lalat
dari
pusat pembuangan sampah
Menyisakan potongan kalimat
profane berceceran
Bernazar membuat tiran berjatuhan
dengan luka sayat dari medan
puputan
Kita tantang kutukan, kita kutuk
pantangan
Sehingga setiap angan paralel
dengan surga-neraka dan dalil
langitan
Serupa komando yang keluar dari
mabes hingga koramil
Serupa toxin yang berselancar pada
darah sebelum maut menjemput
Munir
Menyisir petaka yang membiarkan
mereka menggadaikan pasir
Pada pantai, pada bumi, yang
penuhi
oleh barcode dan kasir
Yang menghibahkan filsafat pada
vampire
Pada mereka yang melabeli setiap
oponen dengan stempel kafir
Pada mereka yang datang pada
malam terkelam
Saat cahaya hanya datang dari
belukar di tengah makam
Kita pernah sisakan harapan yang
esok siap cor menjadi belati
Pikulan beban yang serupa pitam
yang kembali berhitung dengan
mentari
Dengan tangisan bayi yang
mengajarkan kembali bagaimana
menari
Bagaimana mengingat janji dan
mengepalkan jemari
Bagaimana seharusnya hari-hari
berbagi api
Bagaimana menyulutnya pada nadi
dan mengumpulkan nyali
Dan semua darah bertagih telah kita
bayar lunas
Sejak kalimat angkara kita terlanjur
menjadi lampiran kajian Lemhanas
Kau dan aku tahu pahlawan tidak
lagi
datang dari kurusetra
Namun dalam bentuk dominasi mie
instant di tengah bencana
Sejak tanah basah ini menagih janji
mata yang dibayar mata
Sejak mata sungai menagih suara
mereka yang hilang di ujung desa
Sejak kebebasan hanya berarti di
hadapan kotak suara
Sejak para ekonom memperlakukan
nasib serupa statistik ramalan cuaca
Telah khatam kita baca semua
analisa
semua neraca
Semua melihat tai kucing yang
membenarkan semua prasangka
Kita belajar membaca gejala dari
jelaga
Pada malam-malam terhunus dan
waras-waras kita terjaga
Memaksa tidur dengan satu kelopak
mata terbuka
Menahan pitam tanpa riak serupa
telaga
Serupa hasrat yang dipertahankan
setengah mati tetap menyala
Pada setengah hidup kita mengalir
mencari muara
Serupa udara
Membutuhkan amis darah agar
sirine
tetap mengalun
Agar waras diingatkan wabah yang
akut menahun
Tentang pagut yang santun
Yang memusuhi pantun
Yang membakar habis hasratmu
setelah dipaksa dipasung
Mungkin kau akan ingat tentang
petaka yang dalam hitungan kurun
Waktu singkat berubah menjadi
rahmat
Merubah alam alam bawah sadar
hingga terbiasa dengan mayat
Sekarang mengubahmu kasat di
depan deretan kalimat
Bergabung dengan para mata yang
terang bersama pekat
Serupa kepastian, serupa asuransi
Serupa janji yang memprediksi
dimana kau suatu hari nanti dengan
pasti
Sehingga semua pertanyaan kau
tinggal mati
Sehingga rimaku hari ini dan
terompet israfil dapat bertukar posisi
Dan menantang mentari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar